Wacana Islam Indonesia begitu marak dijadikan sebagai bahan diskusi. Wacana yang dikembangkan oleh kalangan ‘intelektual muda muslim kontemporer’ ini daya jangkaunya sampai sekarang memang hanya terbatas pada orang-orang dengan taraf pendidikan menengah keatas. Tapi, seperti kita pahami bahwa dari merekalah nantinya ide ini akan menggelontor menjadi bahan-bahan diskusi di khalayak ramai, bahkan boleh jadi menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah sejak tingkat dasar. Maka, sejak awal wacana ini perlu kita kritisi.
Sekilas, ide tentang Islam Indonesia atau Islam berbingkai keindonesiaan terasa indah dan menyejukkan. Sebagai kontra konsep dengan Islam Transnasional atau Islam Arab, Islam Indonesia digambarkan begitu menyejukkan, santun, toleran, moderat, demokratis dan pluralis. Bandingkan saja dengan konsep Islam Transnasional yang mereka gambarkan. Puritan, sektarian, kasar, mengerikan, intoleran. Sekilas gambaran Islam Indonesia begitu indah. Islam Indonesia dideskripsikan sebagai Islam yang bisa menyatu dengan akar budaya Indonesia, berislam sekaligus berpancasila. Islam Transnasional digambarkan sebagai pihak yang selalu mempertentangkan Islam dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Kemudian wacana berkembang. Pengusung ‘Islam Indonesia’ mencoba memainkan isu, bahwa Islam keindonesiaan yang sejak dulu dianut oleh bangsa Indonesia sekarang terancam eksistensinya. Gerakan-gerakan Islam Transnasional begitu gencar mengopinikan ide-idenya, sehingga banyak lahir pemuda-pemuda yang berpikiran Islam garis keras. Masih segar di ingatan kita, bagaimana reaksi tokoh-tokoh pengusung Islam Indonesia ketika melihat Hizbut Tahrir sukses menggalang kekuatan umat untuk membesarkan kegiatan Konferensi Khilafah Internasional (KKI), 2007 silam. Bahkan, pimpinan salah satu ormas Islam terbesar mengharuskan dirinya berkampanye ke berbagai daerah untuk menunjukkan bahwa ide Khilafah Islamiyah bukanlah ide yang laku di tengah-tengah masyarakat. Puncaknya, kegiatan Harlah organisasi tersebut yang ingin menunjukkan bahwa kekuatan pengusung Islam Indonesia lebih kuat dan lebih besar dari pengusung Khilafah Islamiyah.
Kelompok yang juga begitu sering mewacanakan ide Islam keindonesiaan adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Mereka begitu gencar -tentunya kalau ada kucuran dana dari tuan mereka- mewacanakan ide Islam keindonesiaan. Forum-forum diskusi, tulisan-tulisan di media cetak, buku dan melalui situs mereka islamlib.com. Salah satu contoh wacana Islam keindonesiaan mereka adalah Indonesia untuk semua, termasuk penghujat Islam dan Rasulullah Saw. Kita bisa saksikan bagaimana mereka begitu gigih membela keberadaan Ahmadiyah di negeri ini. Tapi, seperti bertolak belakang, mereka malah mendesak pemerintah membubarkan MUI. Apa maksudnya ini?
Pemahaman Islam Indonesia ini pula yang menjadi dasar dari pembuatan buku fitnah tak ilmiah, “Ilusi Negara Islam”
Wacana Islam Indonesia atau Islam keindonesiaan bukanlah konsep yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Islam dalam definisi yang jami’an wa mani’an dimaknai sebagai “dien yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw untuk seluruh umat yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia yang lain, dan manusia dengan dirinya sendiri“. Dari definisi ini jelas, Islam adalah dien yang kamil wa syamil. Agama yang sempurna dan menyeluruh. Tak perlu ada tambahan lagi. Ini semakin dikuatkan dengan satu ayat dari surah al-Maidah -yang menurut jumhur ulama dianggap sebagai ayat yang terakhir diturunkan-, yang berbunyi “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kucukupkan untuk kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai Dien kalian” (TQS. Al-Maidah [5] : 3).
Dari ayat diatas, dapat dipahami bahwa Islam sudah sempurna diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, tak perlu ditambah-tambahi lagi. Ini sudah bisa jadi argumentasi ‘pemati’ wacana Islam keindonesiaan. Islam keindonesiaan digulirkan atas dasar pemahaman bahwa diperlukan pengamalan ajaran Islam yang khas bercirikan Indonesia. Sederhananya, Islam untuk Indonesia perlu direvisi agar tak terwarnai dengan Islam dari Arab. Islam Indonesia lahir dari cara yang berbeda dari Islam yang lahir di Arab. Islam di Indonesia disebarkan melalui kesantunan dan perdamaian sedangkan Islam Arab disebarkan melalui pedang dan penindasan. Coba kita renungkan, argumentasi Islam keindonesiaan jelas sudah mati sejak pertama kali diwacanakan.
Tidak ada perbedaan antara Islam Arab dan Islam Indonesia. Fakta menunjukkan, Islam memang diturunkan di Arab kepada Muhammad Saw, seorang Arab Quraisy. Tapi, sejak awal Allah telah menyatakan bahwa Islam adalah untuk semua bangsa. Tidak ada keistimewaan bangsa Arab dibandingkan bangsa ‘Ajam, demikian pula sebaliknya. Konsep Islam rahmatan lil ‘alamin tentu karena Islam kompatibel untuk seluruh bangsa dan seluruh masa sejak turunnya. Jika ada perbedaan penerapan Islam di Arab dengan di Indonesia, maka kita kaji dulu. Dalam ajaran Islam ada yang termasuk perkara furu’ dan ada yang termasuk perkara ushul. Perkara ushul adalah perkara aqidah dan seluruh perkara yang qath’i secara tsubut dan dilalah. Dalam perkara ushul tidak boleh ada perbedaan. Perbedaan dalam hal ini menunjukkan sesatnya pemahaman. Sedangkan perkara furu’ adalah bagian syariah yang dalilnya bersifat zhann baik tsubut dan dilalah, tsubut-nya saja, atau dilalah-nya saja. (Bagi yang belum terlalu paham, silakan kaji lebih dalam tentang ushul fiqih di kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz 3, karangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dan kitab Taysir al-Wushul ila al-Ushul, karangan Syaikh Abu Rasythah ‘Atha bin Khalil). Nah, jika perbedaan penerapan Islam di Indonesia dan di Arab berbeda dalam perkara ushul, tentu ada salah satu -atau malah keduanya- yang menyimpang. Yang menyimpang tentu harus kita luruskan, bukan malah membenarkan hal tersebut sebagai bagian dari pemahaman yang khas Indonesia. Ini jelas salah kaprah. Kalau beda dalam perkara furu’ tentu bukan sesuatu yang harus dipersoalkan.
Pendapat yang mengatakan bahwa penyebaran Islam di Indonesia berbeda dengan penyebaran Islam di negeri lain terkhusus Arab juga perlu kita tinjau kembali. Bahwa ada sikap yang begitu bijak dari para penyebar Islam di Indonesia -kita kenal dengan Walisongo-, harus kita akui. Tapi kalau dikatakan ada metode yang berbeda dalam penyebaran Islam, ini tentu tidak benar. Islam disebarkan di Indonesia maupun di negeri lain dengan metode yang sama yaitu dakwah dan jihad oleh Khilafah Islamiyah. Tak ada perbedaan (Silakan lihat Booklet HTI: Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia. 2007. HTI Press). Perbedaan hanya dalam uslub dan wasilah, bukan dalam metode atau thoriqoh.
Wacana Islam keindonesiaan juga sarat dengan paham pluralisme dan sinkretisme. Pluralisme sebagai paham yang mengakui dan mewajibkan adanya keragaman pemahaman meniscayakan pemahaman bahwa kebenaran adalah relatif. Dalam hal qath’i pun kita boleh berbeda. Bahkan -secara ekstrim- Tuhan pun tak boleh menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Sinkretisme adalah pemahaman yang mencoba mencampuradukkan satu pemahaman dengan pemahaman yang lain, atau satu agama dengan agama yang lain. Hasilnya dirumuskan sebagai pemahaman yang berbeda. Lahirlah yang dinamakan Islam keindonesiaan. Paham pluralisme telah difatwakan haram oleh MUI tahun 2007 lalu (http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=137). Lajnah Ad-Da’imah Divisi Penelitian Ilmiah dan Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi bahkan memfatwakan murtad bagi muslim yang mengusung paham sinkretisme (http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=183).
Penggambaran islam Indonesia yang toleran, moderat dan demokratis sedangkan Islam Arab sebagai Islam yang radikal, anti demokrasi, dan ekstrimis juga merupakan penggambaran yang tidak tepat. Pensifatan Islam radikal dan Islam moderat adalah upaya Barat untuk memecah belah umat Islam (Silakan baca dokumen laporan resmi berjudul “Building Moderate Muslim Networks” yang dikeluarkan pada tahun 2007 oleh RAND Corporation sebuah Pusat Penelitian & Pengkajian Strategi tentang Islam & Timur Tengah, yang berpusat di Santa Monica –California dan Arington– Virginia, USA). Upaya ini di Indonesia, salah satunya didukung oleh cendekiawan Muslim yang berpikiran liberal. Islam sudah punya sifat sendiri yang berbeda dengan tuduhan barat. Sifat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Saya rasa sudah cukup, sedikit kritik terhadap wacana Islam Indonesia atau Islam keindonesiaan. Sedikit ini pun sudah sangat bisa melumpuhkan argumentasi mereka yang terkesan ilmiah. Kita jangan mau dijebak dengan kata-kata kalangan liberal yang mewacanakan ide ini. Karena mereka tak benar-benar cerdas. Media yang disetir oleh mereka lah yang mengesankan mereka cerdas. Karena, cerdas yang sebenarnya adalah kecerdasan yang menundukkan akal pada kebenaran dan bukan malah memalingkannya dengan beribu alasan. Kebenaran yang sejati adalah Islam. Kaffah. Kamil wa Syamil. Mari kita tawarkan Islam untuk Indonesia kita. Islam agar Indonesia barakah.
Sekilas, ide tentang Islam Indonesia atau Islam berbingkai keindonesiaan terasa indah dan menyejukkan. Sebagai kontra konsep dengan Islam Transnasional atau Islam Arab, Islam Indonesia digambarkan begitu menyejukkan, santun, toleran, moderat, demokratis dan pluralis. Bandingkan saja dengan konsep Islam Transnasional yang mereka gambarkan. Puritan, sektarian, kasar, mengerikan, intoleran. Sekilas gambaran Islam Indonesia begitu indah. Islam Indonesia dideskripsikan sebagai Islam yang bisa menyatu dengan akar budaya Indonesia, berislam sekaligus berpancasila. Islam Transnasional digambarkan sebagai pihak yang selalu mempertentangkan Islam dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Kemudian wacana berkembang. Pengusung ‘Islam Indonesia’ mencoba memainkan isu, bahwa Islam keindonesiaan yang sejak dulu dianut oleh bangsa Indonesia sekarang terancam eksistensinya. Gerakan-gerakan Islam Transnasional begitu gencar mengopinikan ide-idenya, sehingga banyak lahir pemuda-pemuda yang berpikiran Islam garis keras. Masih segar di ingatan kita, bagaimana reaksi tokoh-tokoh pengusung Islam Indonesia ketika melihat Hizbut Tahrir sukses menggalang kekuatan umat untuk membesarkan kegiatan Konferensi Khilafah Internasional (KKI), 2007 silam. Bahkan, pimpinan salah satu ormas Islam terbesar mengharuskan dirinya berkampanye ke berbagai daerah untuk menunjukkan bahwa ide Khilafah Islamiyah bukanlah ide yang laku di tengah-tengah masyarakat. Puncaknya, kegiatan Harlah organisasi tersebut yang ingin menunjukkan bahwa kekuatan pengusung Islam Indonesia lebih kuat dan lebih besar dari pengusung Khilafah Islamiyah.
Kelompok yang juga begitu sering mewacanakan ide Islam keindonesiaan adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Mereka begitu gencar -tentunya kalau ada kucuran dana dari tuan mereka- mewacanakan ide Islam keindonesiaan. Forum-forum diskusi, tulisan-tulisan di media cetak, buku dan melalui situs mereka islamlib.com. Salah satu contoh wacana Islam keindonesiaan mereka adalah Indonesia untuk semua, termasuk penghujat Islam dan Rasulullah Saw. Kita bisa saksikan bagaimana mereka begitu gigih membela keberadaan Ahmadiyah di negeri ini. Tapi, seperti bertolak belakang, mereka malah mendesak pemerintah membubarkan MUI. Apa maksudnya ini?
Pemahaman Islam Indonesia ini pula yang menjadi dasar dari pembuatan buku fitnah tak ilmiah, “Ilusi Negara Islam”
Wacana Islam Indonesia atau Islam keindonesiaan bukanlah konsep yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Islam dalam definisi yang jami’an wa mani’an dimaknai sebagai “dien yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw untuk seluruh umat yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia yang lain, dan manusia dengan dirinya sendiri“. Dari definisi ini jelas, Islam adalah dien yang kamil wa syamil. Agama yang sempurna dan menyeluruh. Tak perlu ada tambahan lagi. Ini semakin dikuatkan dengan satu ayat dari surah al-Maidah -yang menurut jumhur ulama dianggap sebagai ayat yang terakhir diturunkan-, yang berbunyi “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kucukupkan untuk kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai Dien kalian” (TQS. Al-Maidah [5] : 3).
Dari ayat diatas, dapat dipahami bahwa Islam sudah sempurna diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, tak perlu ditambah-tambahi lagi. Ini sudah bisa jadi argumentasi ‘pemati’ wacana Islam keindonesiaan. Islam keindonesiaan digulirkan atas dasar pemahaman bahwa diperlukan pengamalan ajaran Islam yang khas bercirikan Indonesia. Sederhananya, Islam untuk Indonesia perlu direvisi agar tak terwarnai dengan Islam dari Arab. Islam Indonesia lahir dari cara yang berbeda dari Islam yang lahir di Arab. Islam di Indonesia disebarkan melalui kesantunan dan perdamaian sedangkan Islam Arab disebarkan melalui pedang dan penindasan. Coba kita renungkan, argumentasi Islam keindonesiaan jelas sudah mati sejak pertama kali diwacanakan.
Tidak ada perbedaan antara Islam Arab dan Islam Indonesia. Fakta menunjukkan, Islam memang diturunkan di Arab kepada Muhammad Saw, seorang Arab Quraisy. Tapi, sejak awal Allah telah menyatakan bahwa Islam adalah untuk semua bangsa. Tidak ada keistimewaan bangsa Arab dibandingkan bangsa ‘Ajam, demikian pula sebaliknya. Konsep Islam rahmatan lil ‘alamin tentu karena Islam kompatibel untuk seluruh bangsa dan seluruh masa sejak turunnya. Jika ada perbedaan penerapan Islam di Arab dengan di Indonesia, maka kita kaji dulu. Dalam ajaran Islam ada yang termasuk perkara furu’ dan ada yang termasuk perkara ushul. Perkara ushul adalah perkara aqidah dan seluruh perkara yang qath’i secara tsubut dan dilalah. Dalam perkara ushul tidak boleh ada perbedaan. Perbedaan dalam hal ini menunjukkan sesatnya pemahaman. Sedangkan perkara furu’ adalah bagian syariah yang dalilnya bersifat zhann baik tsubut dan dilalah, tsubut-nya saja, atau dilalah-nya saja. (Bagi yang belum terlalu paham, silakan kaji lebih dalam tentang ushul fiqih di kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz 3, karangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dan kitab Taysir al-Wushul ila al-Ushul, karangan Syaikh Abu Rasythah ‘Atha bin Khalil). Nah, jika perbedaan penerapan Islam di Indonesia dan di Arab berbeda dalam perkara ushul, tentu ada salah satu -atau malah keduanya- yang menyimpang. Yang menyimpang tentu harus kita luruskan, bukan malah membenarkan hal tersebut sebagai bagian dari pemahaman yang khas Indonesia. Ini jelas salah kaprah. Kalau beda dalam perkara furu’ tentu bukan sesuatu yang harus dipersoalkan.
Pendapat yang mengatakan bahwa penyebaran Islam di Indonesia berbeda dengan penyebaran Islam di negeri lain terkhusus Arab juga perlu kita tinjau kembali. Bahwa ada sikap yang begitu bijak dari para penyebar Islam di Indonesia -kita kenal dengan Walisongo-, harus kita akui. Tapi kalau dikatakan ada metode yang berbeda dalam penyebaran Islam, ini tentu tidak benar. Islam disebarkan di Indonesia maupun di negeri lain dengan metode yang sama yaitu dakwah dan jihad oleh Khilafah Islamiyah. Tak ada perbedaan (Silakan lihat Booklet HTI: Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia. 2007. HTI Press). Perbedaan hanya dalam uslub dan wasilah, bukan dalam metode atau thoriqoh.
Wacana Islam keindonesiaan juga sarat dengan paham pluralisme dan sinkretisme. Pluralisme sebagai paham yang mengakui dan mewajibkan adanya keragaman pemahaman meniscayakan pemahaman bahwa kebenaran adalah relatif. Dalam hal qath’i pun kita boleh berbeda. Bahkan -secara ekstrim- Tuhan pun tak boleh menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Sinkretisme adalah pemahaman yang mencoba mencampuradukkan satu pemahaman dengan pemahaman yang lain, atau satu agama dengan agama yang lain. Hasilnya dirumuskan sebagai pemahaman yang berbeda. Lahirlah yang dinamakan Islam keindonesiaan. Paham pluralisme telah difatwakan haram oleh MUI tahun 2007 lalu (http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=137). Lajnah Ad-Da’imah Divisi Penelitian Ilmiah dan Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi bahkan memfatwakan murtad bagi muslim yang mengusung paham sinkretisme (http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=183).
Penggambaran islam Indonesia yang toleran, moderat dan demokratis sedangkan Islam Arab sebagai Islam yang radikal, anti demokrasi, dan ekstrimis juga merupakan penggambaran yang tidak tepat. Pensifatan Islam radikal dan Islam moderat adalah upaya Barat untuk memecah belah umat Islam (Silakan baca dokumen laporan resmi berjudul “Building Moderate Muslim Networks” yang dikeluarkan pada tahun 2007 oleh RAND Corporation sebuah Pusat Penelitian & Pengkajian Strategi tentang Islam & Timur Tengah, yang berpusat di Santa Monica –California dan Arington– Virginia, USA). Upaya ini di Indonesia, salah satunya didukung oleh cendekiawan Muslim yang berpikiran liberal. Islam sudah punya sifat sendiri yang berbeda dengan tuduhan barat. Sifat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Saya rasa sudah cukup, sedikit kritik terhadap wacana Islam Indonesia atau Islam keindonesiaan. Sedikit ini pun sudah sangat bisa melumpuhkan argumentasi mereka yang terkesan ilmiah. Kita jangan mau dijebak dengan kata-kata kalangan liberal yang mewacanakan ide ini. Karena mereka tak benar-benar cerdas. Media yang disetir oleh mereka lah yang mengesankan mereka cerdas. Karena, cerdas yang sebenarnya adalah kecerdasan yang menundukkan akal pada kebenaran dan bukan malah memalingkannya dengan beribu alasan. Kebenaran yang sejati adalah Islam. Kaffah. Kamil wa Syamil. Mari kita tawarkan Islam untuk Indonesia kita. Islam agar Indonesia barakah.
by : Tyo_ramadhani
0 komentar:
Post a Comment